Soppeng,- Ketikterkini.com | Rencana Bimbingan Teknis (Bimtek) Kepala Desa di Makassar yang digagas APDESI batal dilaksanakan, namun menyisakan persoalan serius. Pasalnya, muncul dugaan adanya pengadaan baju kaos sebanyak 5 lembar per desa dengan harga yang disebut mencapai Rp125.000 per lembar.
Jika dikalkulasi, jumlah pengadaan untuk seluruh desa bukanlah angka kecil. Justru di sinilah muncul tanda tanya besar: siapa sebenarnya yang menginisiasi pengadaan tersebut, berapa harga riilnya, dan dari mana sumber dananya?
Publik menyoroti beberapa hal penting yang hingga kini belum terjawab:
1. Benarkah pengadaan kaos ini sepenuhnya dikelola oleh APDESI?
2. Apakah harga Rp125.000/lembar masuk akal atau justru jauh di atas harga pasar?
3. Dana apa yang dipakai? Apakah menggunakan dana desa, iuran, atau ada pos anggaran lain yang dialihkan?
4. Jika memang ada pos anggaran resmi, mengapa tidak pernah disosialisasikan kepada desa-desa?
5. Mengapa APDESI tidak segera memberikan klarifikasi terbuka mengenai harga sebenarnya dan dasar pengadaan tersebut?
Kendati demikian, sejumlah Kades di Soppeng dimintai keterangannya oleh media menjawab, " Kami cuma menggunakan dana pribadi, karna Bimtek kemarin sudah gagal. Terkait dengan adanya pesanan baju kaos yang telah di pesan oleh Apdesi maka, kami ikut berpartisipasi, " Jelasnya kepada wartawan. Selasa, (26/8/2025).
Menyikapi hal itu, Ketua Lembaga Pemantau Korupsi dan Aparatur Negara, sangat menyayangkan hal itu, " Hal itu sangat berbedah dengan wakil Bupati Soppeng saat di temui terkait hal itu, Wakil Bupati pada saat itu menyatakan bahwa, tidak ada yang menggunakan dana pribadi. Pasti ujung - ujungnya akan di pertanggung jawabkan. Itu hanya alasan saja, " Jelasnya pada saat itu.
Kendati demikian, kuat dugaan, pengadaan baju kaos ini sarat dengan kepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Apalagi, kegiatan inti berupa Bimtek batal dilaksanakan, sementara pengadaan kaos tetap berjalan. Hal ini memunculkan kecurigaan adanya praktik “proyek siluman” yang berpotensi merugikan desa-desa.
Para kepala desa maupun masyarakat berhak mengetahui, apakah benar ada markup harga dan penyalahgunaan anggaran dalam kasus ini. Jika benar terbukti, maka aparat penegak hukum patut turun tangan menelusuri dugaan permainan anggaran di tubuh APDESI.
Hingga kini, pengurus APDESI Kabupaten Soppeng masih bungkam dan belum memberikan klarifikasi resmi. Sikap diam ini justru semakin memperkuat dugaan adanya ketidakberesan dalam pengadaan kaos tersebut.
(Firman)