Soppeng,- Ketikterkini.com | Proyek rehabilitasi kantor UPTD PPA Soppeng yang menelan anggaran fantastis sebesar Rp 1.256.868.632,- dari APBD 2025 kini menuai sorotan tajam. Pasalnya, selain kualitas pekerjaan yang patut dipertanyakan, terdapat pula indikasi kuat adanya upaya menghalangi fungsi kontrol sosial dari insan pers.
Proyek yang dikerjakan oleh CV. Nawasena Raya Perkasa dengan pengawasan dari CV. Mutiara Prima Consultant ini semakin mencurigakan ketika salah satu pengawas lapangan, sebut saja Rengga, diduga mencoba membatasi wartawan saat melakukan peliputan di lokasi proyek. Ironisnya, alih-alih transparan, sang pengawas malah berdalih wartawan harus “izin dulu” dan wajib menggunakan APD jika ingin mengambil dokumentasi.
Namun fakta di lapangan justru berbanding terbalik. Saat proses pengecoran berlangsung, terlihat ada pekerja proyek yang sama sekali tidak menggunakan APD. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah alasan penggunaan APD hanya dijadikan tameng untuk menutup-nutupi jalannya proyek?
Ketua Lembaga Pemantau Korupsi dan Aparatur Negara (LPKN) Soppeng, Alfred Surya Putra Panduu, dengan tegas mengutuk keras sikap pengawas proyek tersebut. Ia menilai tindakan melarang wartawan mengambil gambar bukan hanya bentuk arogansi, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai upaya menghalangi tugas jurnalis.
“Ada indikasi jelas bahwa proyek ini ingin ditutup-tutupi. Kalau tidak ada yang disembunyikan, mengapa wartawan dilarang mendokumentasikan? Ini jelas mencederai keterbukaan publik,” tegas Alfred.
Alfred juga menambahkan bahwa pihaknya akan terus mengawal proyek ini agar penggunaan anggaran miliaran rupiah benar-benar tepat sasaran dan tidak diselewengkan. Ia menilai sikap pengawas justru semakin memperkuat dugaan bahwa terdapat ketidakberesan dalam pelaksanaan proyek.
Kondisi ini menambah daftar panjang persoalan klasik dunia konstruksi di Soppeng, mulai dari kualitas pekerjaan yang diragukan, transparansi minim, hingga dugaan lemahnya pengawasan.
Publik kini menunggu langkah tegas dari aparat penegak hukum maupun instansi terkait. Apakah proyek bernilai lebih dari 1,2 miliar rupiah ini benar-benar dikerjakan sesuai aturan, atau hanya menjadi ajang bancakan anggaran yang dibungkus dengan dalih rehabilitasi?
Penulis : Firman

